Bagian I
Udara luar begitu dingin, sedingin itu pula pagar batu yang diduduki oleh kedua lenganku. Nafas ini melahirkan kebulnya. Meskipun sinar matahari menemani, namun hangatnya tak kuasa menembus diri yang entah fisik atau hatinya membeku kedinginan ini.
Mata ini lepas landas pada pemandangan di depan mata. Apa yang kulihat semua hijau. Bukit beserta savana luas dengan jalan setapak berkelok-kelok. Pepohonan yang jarang namun tetap hijau dan tampak menyejukan. Beberapa kereta kuda berjalan seiring dengan jiwa-jiwa yang bebas. Menarik dengan gaya berpakaian yang berbeda.
Pada sebuah titik, apa yang kulihat membuatku menunduk, melihat bebatuan yang kuinjak. Lama sekali. Kulepas apa yang ku pandang sekian lama tadi, kaki ini mulai sembarang menapak. Berputar-putar sembari memikirkan sesuatu.
“Aku ingin lebih jauh lagi,” bisikku pada bunga-bunga beku di depan mata. Mereka sama kedinginnya dengan ku. Namun dingin justru membuat mereka bertahan dari layu.
“Tetapi…” nyaliku ciut untuk menyatakan pembenaran ini. Kembali aku melihat hijau lagi, menatap kosong. Ada apa di balik mereka. Hembusan nafas ini memberikan kabut-kabutnya untuk beberapa detik. Sebuah ranting pohon yang tak lama menggugurkan para daunnya jatuh mengenai kepalaku. Ah, sakit! Membangunkanku dari harapan semu. Seolah menampar dengan fakta: bangunlah!
Jika ada kesempatan berbicara, bukan ini yang kucari. Aku ingin lebih dari ini.