Tidak pernah ada satupun ramadhan yang biasa saja menurut saya, aura bulan yang selalu membawa hati sanubari umat islam semakin dekat dengan Tuhannya. Bulan romantis saudara muslim sejagad raya dengan Allah Swt. Betapa tidak? Bulan ini sang Maha Agung memberikan jutaan kemurahan dalam berbagai urusan. Sayangnya di saat saya menulis ini, Ramadhan 2019 hanya tinggal hitungan jari, tidak ada seminggu lagi hari kemenangan itu tiba. Namun tak apa, bukankah hari-hari terbaik di bulan Ramadhan berada pada hari-hari terakhirnya, bukan?
Hati selalu bergetar jika membayangkan betapa murah hati sang pencipta memberikan kesempatan menikmati ramadhan tahun ini—di mana saya berharap tidak hanya sebatas haus dan lapar semata. Memberikan jeda–yang selalu saya nantikan–dari urusan dunia yang pelik, membelenggu.
Satu kata untuk ramadhan setiap tahunnya adalah doa. Ada beberapa doa yang dipanjatkan untuk diri dan orang-orang terkasih. Tentang apa yang diharap, ditunggu-tunggu, diterka-terka apa jawabnya.
Sudah 5 tahun pula saya lewatkan bulan ramadhan di tempat perantauan. Hidup sendiri jauh dari sanak saudara. Mulai dari jaman masih menimba ilmu di perguruan tinggi sampai bekerja kini. Oleh karenanya saya pun merasakan sensasi mudik ke kampung halaman untuk kesekian kali. Kalau boleh berbagi, dengan merantau ini pula saya menemukan banyak hal yang baru, termasuk di dalamnya pembelajaran untuk menghargai dan mencintai diri lebih baik. Saya menyebutnya “perjuangan”, meskipun kadang sulit namun ini adalah penjalanan yang tidak terlupakan.
Satu kalimat menarik yang selalu membuat saya tertegun:
Orang berilmu dan beradab tidak diam istirahat di kampung halaman. Tinggalkan negerimu dan hidup asing di negeri orang.
-Imam Syafi’i
Meskipun belum sampai negeri orang namun setidaknya ini awal yang tidak patut diremehkan. Meskipun pula dengan berkata demikian, bukan berarti kesuksesan hanya didapat ketika merantau saja. Gimana kita mengintrepretasikannya dan mengambil pembelajaran.
Kota Semarang telah memberikan banyak pembelajaran yang jika tidak ditulis dengan tepat akan bisa terlupakan seiring masuknya memori-memori baru. Mulai dari persahabatan, romansa, per”tetangga”an di asrama kampus, rekan organisasi, sahabat angkatan, sahabat dari organisasi daerah, kawan lama dari sekolah. Semua melebur dalam satu kata “dinamika”. Selalu melekat dalam jiwa.
Di perjalanan bulan ramadhan ini pula, saya telah belajar tentang pentingnya sebuah silaturahmi. Betapa pentingnya bersua menyapa saudara-saudari kita yang kemungkinan kecilnya tidak bisa ditemui selain bulan puasa ini. Berbuka puasa menjadi salah satu pilihan kami semua berkumpul dan berbagi cerita. Meskipun tidak lama karena terbentur jadwal sholat tarawih sih. Namun setidaknya itu memberikan kesempatan. Bahkan pada kesempatan ramadhan tahun ini, saya merasa beruntung atas pertemuan-pertemuan dengan orang baru. Berbuka puasa dari satu masjid ke masjid yang lain, selain berdalih karena terbentur jadwal pekerjaan sehingga tidak sempat masak sendiri, semua saya lakukan untuk mendapatkan pengalaman baru.
Saya tahu betul di usia 22 tahun ini, rasanya lingkup pertemanan memang semakin mengerucut. Jika dibandingkan dengan kenalan dan teman masa sekolah atau perkuliahan, rasanya teramat jauh jika dilihat dari kuantitasnya. Kini, tersisa teman-teman yang tidak banyak namun berkualitas baik secara intensitas berhubungan—meskipun melalui jejaring sosial—atau yang dapat ditemui secara fisik. Saya tetap mensyukurinya, karena sahabat adalah rekan terbaik setelah keluarga tentunya.
Sepertinya cerita saya kali ini random sekali. Hehehe!
Duhai ramadhan, selamat jalan! Semoga selalu ada kesempatan untuk merengkuhmu di tahun kedepanya lagi.