Beberapa waktu yang lalu saya dapat mandat tugas untuk membuat video Tiktok dengan tema “Gelar vs Kerjaan” oleh kantor. Durasinya belasan detik. Fokus kontennya adalah untuk menunjukan apa gelar yang sudah didapatkan dan pekerjaan apa yang sedang digeluti saat ini.
Karena konten tersebut, alhasil saya jadi ngulik foto dan video sidang skripsi dan wisuda beberapa tahun yang lalu. Aaaand, you may feel it, when you find an old memory, it will distract you with nostalgia. Saya jadi duduk lama memandangi beberapa foto dan video tersebut.
Sebenarnya, saya orang yang tidak peduli dengan per”gelar”an ini. Karena kuliah bagi saya adalah ladang menuntut ilmu semata, bukan untuk mendapatkan gelar ina itu. Justru saya sangat menyayangkan beberapa orang yang memberikan sekat sosial hanya karena seseorang memiliki tingkat pendidikan formal yang lebih tinggi. Since being an educated person is not only coming from a formal education but also a long life learning.
Saya lulus sidang pada Juni 2018 dan diwisuda Agustus 2018. It was one of the toughest parts in my life. Masing teringat dengan segar memory di mana harus menyelesaikan tugas akhir dengan kerja dua part-time sekaligus. Sehingga jika dihitung dalam kurun 24 jam, saya habiskan waktu 12 jam saya untuk bekerja, sejumlah waktu saya gunakan untuk mengerjakan/revisi skripsi, bimbingan dengan dosen dan sisanya untuk istirahat. Beruntung saat itu, Allah berikan saya sehat dan juga support system yang selalu memahami keadaan saya kala itu.
Karena ketika kita rasa itu mungkin, kenapa enggak? Hasil tidak pernah mengkhianati usaha, saya lulus tepat waktu, nilai yang cukup dan yang lebih penting bisa berdikari lebih dini.
Konsep wisuda saya bisa dibilang cukup minimalis untuk ukuran wisuda offline, saya menyebutnya “frugal graduation“. Dari sisi pakaian, kampus sebenarnya menawarkan untuk sewa atau beli lepas toga-kalau sewa hanya dikenai Rp. 50.000 dan jika beli dikenakan Rp. 250.000. Tentu saja, saya memilih untuk sewa dengan harga yang jauh lebih miring dengan pertimbangan: Hemat budget dan hemat space di lemari.
Saya pun memutuskan untuk tidak sewa atau pun jahit kebaya melainkan hanya menggunakan Abaya yang saya miliki. Bersyukurnya lagi, keluarga tidak masalah dengan itu.
Saya pun latihan make up untuk graduation-berbekal YouTube-kurang lebih 1-2 bulan (karena biaya MUA kala itu bisa mencapai ratusan ribu sampai jutaan). Kalau diamati dengan seksama, saking amatirnya dan karena tidak sempat touch up, setelah dilihat-lihat oily juga muka saya di beberapa jepretan foto haha! Tapi tak apa, prinsip saya kala itu, yang penting ada.
Saya coba alihkan beberapa budget yang tinggi pada foto studio keluarga dan makan-makan. Karena kebetulan beberapa saudara juga ikut ke Semarang kala itu.
Meskipun semua orang bilang, wisuda ini sekali seumur hidup dan semua harus yang sekalian bagus. Kalau boleh saya bilang, saya punya pertimbangan lainnya. Karena toh wisuda hanya sebatas seremoni semata. Kalau terus nurutin “sekali seumur hidup” enggak akan ada habisnya. Paling penting buat saya, selesai sudah tugas saya berkuliah dan bisa ajak keluarga senang dengan jalan-jalan dan makan-makan. That’s more important than having long last make up for me. LOL.
Well, every graduate has their own stories, so that’s mine.
Keren…