written in 2020, edited in 2022
Tulisan ini ditujukan untuk Mas Galih dan Mas Ari yang sudah terlanjur tahu cita-cita masa kecil saya yaitu menikah di usia 17 tahun. Mundur sedikit, sewaktu masih di bangku sekolah dasar, saya punya angan-angan untuk menikah di usia 17 tahun. Kala itu, takaran kebahagiaan hanya sebatas menikah, punya anak kecil yang lucu dan bisa tinggal bersama orang yang kita cintai. Namun percaya atau tidak, hidup memang kadang lucu, tepat di usia 17 tahun justru saya punya pandangan lain tentang hidup dan memutuskan untuk tidak mau menikah semuda itu.
Inspirasi ini muncul saat dua bapak-bapak–bernama Galih dan Ari–yang sedang membicarakan alasan masing-masing dari mereka menikah. Saya fikir bakal dijawab begini: Untuk menghindari zina, cinta atau hal klasik lainnya. Namun prasangka saya salah, kata mereka, mereka akhirnya memilih untuk menikah karena diminta untuk menikah. Saya yang kala itu sedang membuat rate-card untuk sejumlah klien, entah kenapa jadi terlibat dalam pembicaraan tersebut. Jujur, saya cukup tertarik mendengar jawaban mereka. Meskipun lama mengenal mereka, saya yakin tujuan mereka menikah bukan hanya “karena diminta menikah”.
Saya menambah gelak tawa dengan menceritakan cita-cita masa kecil untuk menikah di usia 17 tahun. Tentu saja, hal tersebut memancing sumber tawa baru. Tak lupa wejangan itu pun melengkapi, “Marwa, saran dari kami yang sudah menikah adalah ‘Jangan Menikah’.” Bisa dibilang, percakapan sore itu menyenangkan, lebih banyak diisi dengan tawa daripada jawaban yang terlalu serius.
Saya jadi bertanya-tanya, kenapa sempat kepikiran ingin menikah sedini itu, ya? Kemungkinan terbesar karena tontonan yang saya konsumsi semasa kecil. The Disney princess hit me so hard! Baru dewasa ini, saya sadar, ternyata apa yang saya tonton itu membentuk toxic mindset: Jika dalam setiap kemalangan akan selalu ada happy ending dan di setiap happy ending selalu digambarkan dalam bentuk pernikahan. Padahal hidup tidak pernah berjalan semulus itu. Tidak semua keinginan kita terwujud dengan mudah.
Kesadaran akan hal tersebut berhasil mendistorsi cara saya melihat realita ketika dewasa, bahkan dalam pengambilan keputusan. Semakin bertambahnya usia, semakin saya tahu apa yang saya butuhkan. Termasuk menjalin hubungan yang lebih serius seperti menikah.
Mungkin, ketakutan terbesar saya atau pun beberapa orang dalam menjalankannya adalah mempercayakan orang lain hadir dalam hidup kita dan ikut andil dalam menjalankan visi misi bersama. Seperti yang kita tahu, pernikahan adalah sebuah institusi kecil tempat dimana sepasang manusia meresmikan komitmen mereka secara agama dan hukum. Menikah artinya kita memilih pasangan hidup yang akan menjadi kawan kita dalam mengarungi dunia baru bersama. Jika tidak bijak dalam memilih atau berdoa, khawatirnya membuat petaka untuk kita di masa depan nantinya.
Saya jadi teringat, dari series how I met your father (yes, it’s father not mother) Robin Scherbatsky pernah bilang gini, “Do not waste your time being scared, fear can make you run away from things that could be good, great even. Things that are supposed to be a part of your story. ” sepakat sekali, rasa takut bisa saja membuat kita ragu, namun percayalah ragu itu bisa saja bertransformasi menjadi kemantapan jika kita mau, yang mana akan brings us into our best decision.
There is no early or too late for it, everyone has their own time. Getting married is not a happy ending story, since there are so many steps after that. Marriage is not the end of everything, it will be the first step for the new life of someone. Choose wisely and trust God for the best!
Last but not least, there will be one day I am joining your club, Mas-Mas. Gonna find out what’s behind “Jangan Menikah” as you mentioned. Haha!
Konsep Foto: Sasing Undip Reunion dalam Lintas Generasi