Setelah menghilang begitu lama, tidak blogging—lari dari tanggung jawab (untuk menulis)—I am back, guys. Saya menulis dengan penuh pengharapan bahwa kegelisahan dalam benak diri bisa tersalurkan dengan baik. Saya menulis ini di hari Minggu yang tenang bersamaan dengan kehadiran hujan—yang sedari beberapa saat yang lalu, malu-malu entah apa tahu.

Ini semua hanya masalah kegelisahan semata. Ternyata dengan meluapkannya dalam bentuk tertentu, bisa memberikan kelegaan tersendiri. Yup, I wrote it, it may be that long, so watch out guys! Syukur-syukur dapat menghasilkan sesuatu yang membawa perubahan. Meskipun hanya sebatas ini, namun setidaknya tidak hanya diam di tempat atau tidak bergerak sama sekali.

Belakangan ini, saya mendapatkan banyak kabar bahagia dari beberapa teman-teman dekat. Mulai dari kelulusan bachelor beberapa rekan, teman-teman yang lama nganggur dan dapat kerja, teman-teman yang beruntung melanjutkan kuliah S2, pernikahan, kehamilan sahabat, dst. Rasanya ikut berbahagia mendengarkan cerita mereka semua. Pencapaian mereka pasti tidak mudah, namun saya percaya, di balik itu semua ada kesabaran yang selalu mereka pertahankan sehingga melahirkan hasil yang memuaskan.

Konsep “sabar” yang akan melahirkan kesuksesan dan kebahagiaan memang sudah umum dibicarakan banyak orang. Untuk sukses tidak mungkin didapatkan tanpa ada “sabar” di dalamnya. Banyak orang memberikan selamat ketika seseorang sudah mencapai target-target hidupnya, lulus kuliah, mendapatkan pekerjaan, melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi, bertemu jodohnya dan hendak menikah, dan pencapaian-pencapaian yang lain. You know what, friends, people said that the key of happiness is to be patient to reach it. I do believe those words quite enough, but the most important thing is instead of congratulate their results, you must think about their patience, which should be congratulated more than their achievements.

Jadi teruntuk kamu yang masih berjuang mencapai apapun itu, kamu pun berhak mendapatkan selamat atas kesabaranmu, meskipun bahagia dan sukses masih jauh dari genggaman. Justru dengan kesabaran luar biasamu lah, you deserve my congratulations. (Sebuah disclaimer untuk diri sendiri karena belum menggapai apa yang di cita-cita kan juga hahaha)

Suatu hari saya bertemu dengan seseorang, secara usia memang sudah matang. Beliau sering melemparkan some tricks questions dan setelahnya mendiskusikannya. Kala itu, beliau bertanya sebenarnya tujuan hidupmu apa, Marwa? Pertanyaan fundamental seperti ini tidak bisa dilewatkan hanya dengan jawaban: money or fame, bukan?

Nah, terispirasi dari pertanyaan tersebut, mari kita jabarkan satu per satu tentang pertanyaan mendasar tersebut.

Manusia adalah makhluk hidup dengan beragam pikiran dalam otaknya. Sudah berapa peradaban berlalu dengan berjuta-juta cerita. Setiap orang memiliki jalan cerita yang unik, berbeda dan relatif. Satu sama lain saling berkaitan—baik secara langsung ataupun tidak. Setiap orang dilahirkan dengan tujuan, meskipun tidak semua orang peduli dengan tujuan tersebut. Lebih banyak orang yang melewatkannya dengan tidak tahu sebenarnya apa tujuan hidupnya karena berawal dari ketidakpedulian—mungkin juga kurang beruntung untuk memiliki kepedulian tersebut (karena kepekaan seseorang bisa jadi ada karena bertemu orang-orang tertentu). Saya percaya bahwa ketika kita tahu tujuan apa yang akan kita raih, hal tersebut akan membawa kita dalam gairah dan semangat dalam mewujudkannya.

Tidak dipungkiri fakta bahwa uang mampu membayar kebahagiaan. Sebagaimana manusia dan sederet kebutuhan ekonominya, tampaknya tidak perlu menafikan fakta ini. Pula tidak perlu naif terhadap pernyataan ini karena penelitian psikologi pun telah membuktikan bahwa uang memang mampu membayar kebahagian. Yang perlu digarisbawahi adalah bagaimana uang tersebut didapatkan dan dipergunakan. Uang memang mampu memotivasi kita dalam banyak hal, namun harus diterapkan dalam diri bahwa semua itu akan sia-sia jika dihabiskan—hanya untuk diri sendiri. Kebermanfaatan penghasilan akan jauh membuat seseorang bahagia jika dia mampu membagikannya kepada orang lain. Setidaknya begitu kata orang bijak yang selalu menguatkan saya yang masih membangun kekuatan finansial ini.

Baca juga:  “Tunjukan Gelarmu dan Pekerjaanmu Sekarang”

Sudah dari kecil saya diajarkan hidup dengan cara yang berbeda, mengalami hubungan jarak jauh dengan ibu saya tercinta karena kebutuhan mendasar manusia–sebut saja dalam bentuk kasarnya adalah untuk uang. Saya tahu betul bagaimana rasanya hidup menjadi anak yang berbeda. Mengendalikan rindu dan kesabaran sedini mungkin. Setiap mengeluh, yang selalu ditanamkan dari kecil, “jangan ngeluh, ada banyak orang yang jauh lebih tidak beruntung dari kamu sekarang.” Mantra tersebut membangunkan energi positif di saat mental dan fisik terpuruk. Ketika dilihat dari sudut pandang bagaimana orang lain bahagia, umumnya orang-orang lebih suka melihat ke atas dan melupakan apa yang ada di bawah kita. Cenderung membuat kita benci dengan hidup kita, thinking that our life is suck, apalagi ketika kita sudah mulai berfikir bahwa hidup kita tidak sesuai dengan hidup kebanyakan orang.

Ada yang bilang bahwa kesibukan orang tua dalam bekerja tidak akan membayar kebahagiaan keluarga yang ditinggalkan. Ketika ibu dan ayah bekerja, disimpulkan kalau anak-anak nya akan tumbuh tanpa kasih sayang dan lain sebagainya. Hal-hal yang sering menjadi sasaran justifikasi begini yang membuat saya engap dan ingin menuliskannya.

Bahagia adalah satu kata sifat yang sangat relatif penafsirannya. Semua orang memiliki latar belakang, cara berfikir, gaya hidup yang berbeda. Tidak bisa kesimpulan-kesimpulan disasarkan hanya dengan melihat satu sisi mata uang. Tujuan manusia dan apa yang mereka cari adalah kebahagiaan. Namun yang paling membuat miris hati saya, ada beberapa golongan yang seolah Tuhan, menentukan siapa saja yang berhak bahagia dan siapa saja yang tidak berhak bahagia.

There are always turning points in your life! Everybody has it, but any of them don’t want to recognise it. They lost their life purpose just because they did’t want to care about.

Tempo hari, saya mendapatkan cerita menarik, mungkin akan sedikit bergeser dari pernyataan di atas, namun saya rasa masih masuk dalam pembahasan. Kisah nyata sepasang kekasih yang sekarang menetap di salah satu kota besar di Indonesia. Setiap sore mereka gemar berjalan-jalan keliling kompleks rumahnya bersama anjing mereka. Kebetulan dia adalah wanita Indonesia yang menikah dengan pria Belanda. Jadi tampak sekali perbedaan fisik, bahasa dan budaya diantara keduanya, namun tidak dapat dibohongi lagi kebahagian yang mereka pancarkan.

Keduanya memiliki latar belakang yang jauh berbeda, wanita tersebut dulunya adalah seorang pelacur. Yup, benar sekali, pelacur. Saya tidak akan menghakimi, atau membahas lebih tentang pekerjaan tersebut dalam sudut pandang agama ataupun moral. Saya tahu, agama yang saya anut dan masyarakat di mana saya tinggal, mengharamkan hal tersebut. Namun bukan itu poin yang akan saya angkat.

Baca juga:  Sebuah Misi Pernikahan

Wanita tersebut lama menetap di Bali. Entah itu pilihan ataupun keterpaksaan, dia bergelut dalam dunia pelacuran untuk kesekian lamanya—yg mungkin—demi kelangsungan hidup. Singkat cerita, pria berkebangsaan Belanda tersebut menebus biaya untuk mendapatkan wanita tersebut. Mengajaknya berjalan bersama dalam sebuah ikatan suci pernikahan. Mereka menikah di Belanda dan sekarang menetap di Indonesia. Pria tersebut menerima dia apa adanya, dan berkomitmen dengan wanita tersebut. Ini hal yang kadang tidak sampai terfikirkan di benak orang kita. Terlalu sibuk menyalahkan, sehingga lupa dengan mengajak ke arah kebaikan.

Suatu hari, mereka berfikir untuk memiliki momongan. Namun Tuhan berkata lain, ternyata baru diketahui mereka memiliki rhesus yang berbeda. Di mana for your information, dua orang dengan rhesus yang berbeda akan sulit sekali memiliki momongan karena jika pun terjadi pembuahan dan menjadi janin, justru akan membahayakan ibu yang mengandung dan anak yang kandung. Rhesus wanita tersebut positif dan pria tersebut adalah negatif. Sang Maha Adil memang tahu apa yang terbaik, setiap melahirkan anaknya tidak pernah selamat. Hingga akhirnya karena itu mereka memutuskan untuk mengadopsi anak untuk melengkapi hidup mereka. Semoga Allah selalu limpahkan kebahagian kepada mereka yang selalu bersyukur dan mengambil sisi baik atas apa yang mereka dapatkan.

Dari cerita di atas, sayang sekali orang-orang masing sembarangan mendeskripkan kebahagiaan, mendiskreditkan orang lain berdasarkan masa lalunya, beranggapan bahwa orang dengan masa lalu yang kurang mulus tidak akan bahagia–beberapa mengucapkan: tidak pantas bahagia. Menafikan bahwa penghakiman seperti itu bukanlah hak mereka, bukankah hanya ada satu dzat yang berhak dengan ini semua?

Di sini saya menjelaskan bagaimana kebaikan Sang Pencipta memberikan kebahagiaan untuk siapa pun tanpa terkecuali. Memberi kesempatan untuk siapapun tanpa terkecuali. Saya resah sekali melihat banyak orang yang sembarangan menghakimi, padahal Tuhan saja belum tentu begitu.

Jadi begini kawan-kawan, terkadang kita terobsesi untuk bahagia seperti orang lain. Melupakan rahmat yang semestinya kita syukuri. Enggan berteman dengan sabar dan keyakinan. Sehingga dengan mudah terperangkap dalam kebahagiaan semu. Kata “Terinspirasi” diterjemahkan dengan salah kaprah, justru membuat banyak orang memaksakan diri agar menjadi “seperti” orang kebanyakan.

Betapa mulianya sang pencipta, dengan mengkaryakan segala jenis rasa dalam hati manusia. Kemampuan otak kita menerjemahkan jalan cerita orang lain untuk menjadi ladang pembelajaran adalah hal yang indah sekali. Di mana di dalamnya kita belajar untuk menghargai, berusaha menahan diri, mendengarkan dan membalasnya dengan senyuman dan penghargaan.

Saya akan selalu belajar makna bahagia itu sendiri. Pertanyaan tentang tujuan hidupmu apa, Marwa? akan selalu terjawab seiring perjalanan hidup saya. Tidak memungkiri memang saya membutuhkan uang. Bukankah ketika memiliki beberapa rupiah digenggaman akan jauh lebih bisa berbagi? Hal yang saya tekankan kepada diri selalu adalah fokus terhadap apa yang saya miliki sekarang. Menghargai diri sendiri. Mengeluh sekedarnya. Tidak perlu membandingkan diri kita dengan orang lain. Menjadi sederhana namun selalu memiliki banyak hal yang bermakna–termasuk meluangkan diri dengan menulis seperti ini. Saya rasa cukup untuk pembahasan hari ini.

Semoga apapun yang dihadapkan ke depan mampu dijalankan dengan sebaik-baiknya. Selamat malam, kawan-kawan.

Leave a Reply

Discover more from Blossom Laden

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading