Menulis sudah menjadi senjata terbaik dalam memerangi kesal, keluh, atau waktu yang sia-sia. Aktivitas ini begitu berarti dalam eksistensi saya dalam dunia sementara ini. Seperti melahirkan ketenangan dalam oase keterbatasan ingatan manusia. Begitu pesatnya teknologi sekarang, membuat seseorang antara semakin mudah sekaligus sulit dalam melakukannya. Sebagai satu di antara manusia yang gemar—belum mahir, semoga saja saya tetep konsisten belajar–menulis, saya merasa bahwa kegiatan ini begitu entertaining. Terutama jika berurusan dengan menulis dokumentasi kehidupan, dan karya sastra. Seperti yang kita tahu, karya sastra lahir dengan misi menghibur. Namun tak kurang, beberapa orang hebat menggunakan sarana tulis ini guna misi kebaikan—begitupun sebaliknya.
Saya bersyukur, pernah mencicipi pahit manisnya menjadi mahasiswa sastra selama masa perkuliahan. Bertemu banyak rekan satu frekuensi dalam konteks kesusastraan. Berteman dengan beberapa orang yang suka membaca, mengkaji bacaan, bahkan beberapa teman yang setuju bahwa Scarlet Letter ditulis oleh Nataniel Hawthorne tidak hanya untuk mengisi waktu luang, namun ada peristiwa penting yang dipotret agar peradaban manusia mengerti betapa masa puritan adalah salah satu masa penting dalam masa lalu Amerika Serikat. Meskipun dalam beberapa kasus diskusi, tetap saja banyak perbedaan pendapat, namun itulah seninya berdebat. Memang benar adanya, kadang dalam hidup, kita pernah berada dalam lingkup keberagaman namun tetap selaras dalam kesamaan.
Karya sastra perdana saya—yang terselamatkan—tertulis pada sepertiga masa di sekolah dasar. Prosa pertama yang saya tulis adalah dongeng. Menurut sumber terpercaya, imaginasi saya ketika kecil sampai di ambang ketidakwajaran. Sepertinya bentuk pelampiasannya ketika itu adalah menuliskannya. Namun tampaknya semangat itu semakin luntur ketika saya beranjak remaja. Aktivitas tersebut mulai jarang saya tekuni karena beberapa faktor yang menghalangi. Sebelum akhirnya menjelang masa perkuliahan, lahirlah abad rennaisanse di saat saya menemukan satu buku penuh tulisan tangan milik ibuku, berikut dengan surat-surat bertulis tangan yang menarik. Saya tertegun sekaligus menangis karena kegemaran tersebut ternyata lahir dari ibu saya tercinta. God, never been so blessed more than that day. My mom was such a great writer! Where have you been? I cried. It must be nothing for any persons who read it, but for me it was lightening my lost bliss. Dari situ seperti tertampar, mencoba menyakinkan diri dan percaya bahwa saya memang harus tetap menulis meskipun hanya dinikmati oleh diri, keluarga, dan teman. Karena menulis adalah salah satu ajang pelampiasan pikiran dan hati, bukan hanya perkara saya akan terkenal atau akan dikagumi. Saya memang bukan siapa-siapa, namun setiap orang berhak melakukan apa yang dia gemari dengan cara terbaik.
Tempo hari, seseorang memotivasi saya untuk tetap menulis dengan cara yang sederhana. “Menulislah apa yang memang terjadi dalam hidupmu.”
Tidak sesederhana itu, pikir saya. Karena privasi adalah harga mati untuk diri ini, tidak semua hal nyaman buat dibagi. Cuman tidak ada salahnya mencoba. Kalau sudah begini, saya melarikan diri pada karya sastra. Di mana kita akan bebas berekspresi, menyuarakan isi hati. Membiarkan semua pembaca terkecoh dengan apa yang sedang terjadi.
Duhai diri, semoga selalu konsisten meningkatkan kemampuan.